Onthespotrest
Budaya

Berkenalan dengan Suku Osing Banyuwangi

Jika membicarakan tentang Banyuwangi, apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu? Kawah Ijen? Taman Nasional Baluran? Mungkin kebanyakan orang akan mengingat Banyuwangi dengan destinasi wisatanya yang terbilang indah. Namun, ada satu hal lain yang harus kamu ketahui tentang Banyuwangi, yaitu suku asli mereka, suku Osing Banyuwangi.

Bila datang mengunjungi Banyuwangi, kamu pun dapat bertemu dengan suku Osing ini, khususnya di desa adat Kemiren. Di desa adat Kemiren, kamu juga akan melihat rumah adat suku Osing yang masih dilestarikan.

Sejarah Suku Osing Banyuwangi

Seperti yang disebutkan sebelumnya, suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi, yang juga dikenal dengan sebutan Jawa Osing atau Laros (Lare Osing) ataupun Wong Blambangan. Osing punya arti ‘tidak’. Kata ini diambil dari kata Using, dalam bahasa Bali.

Adanya suku Osing ternyata berkaitan dengan Kerajaan Blambangan sebagai leluhur. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, Kerajaan Blambangan yang tadinya bagian dari Kerajaan Majapahit pun berdiri sendiri dan jadi kerajaan Hindu terakhir yang ada di Pulau Jawa. Kerajaan ini pun punya peranan sebagai penyangga Kesultanan Islam yang muncul di abad ke-16 M dengan wilayah di Pulau Bali yang umumnya beragam Hindu.

Di tahun 1546 hingga 1764, Kerajaan Blambangan jadi sasaran penakhlukan kerajaan sekitarnya, hingga akhirnya penduduk Blambangan pun migrasi ke beberapa daerah, seperti lereng Gunung Bromo, yang kini dikenal sebagai suku Tengger, ke Bali, dan ada pula yang bertahan di Blambangan atau juga dikenal kini sebagai Banyuwangi yang jadi awal mula adanya suku Osing.

Baca Juga: Daftar 5 Suku yang Dianggap Sebagai Suku Terkuat di Indonesia

Di awal terbentuknya, kepercayaan suku Osing mayoritas adalah Hindu-Budha. Namun dengan berkembangnya kerajaan Islam akhirnya agama Islam pun menyebar di antara penduduk suku Osing.

Bahasa Suku Osing Banyuwangi

Meskipun berada di Pulau Jawa, namun suku Osing punya bahasanya sendiri, yang disebut ‘bahasa Osing’. Merupakan turunan bahasa Jawa Kuno yang dulu digunakan ketika kerajaan Majapahit. Bahasa Jawa Kuno sendiri dipakai dalam kesusastraan Jawa-Bali sejak abad ke-14 hingga abad ke-20.

Bahasa Osing ini punya dialek yang berbeda dari bahasa Jawa, dengan adanya penekanan di beberapa huruf. Namun bahasa ini mulai jarang dipakai, diakibatkan karena masuknya bahasa Jawa dan Madura yang berasal dari masyarakat pendatang. Di beberapa daerah seperti kecamatan paling timur Banyuwangi, penduduknya masih memakai bahasa Osing untuk berinteraksi sesama warga. Namun ketika berinteraksi dengan orang luar daerah mereka ataupun pendatang, mereka umumnya tidak lagi memakai bahasa Osing.

Adat dan Tradisi Suku Osing Banyuwangi

Suku Osing sendiri memiliki beragam adat dan tradisi budaya, yang bisa dibilang tidak lepas dari pengaruh kepercayaan mistis yang mereka yakini. Beberapa adat dan tradisi suku Osing pun bisa dibilang unik dan menarik untuk diketahui dan dipelajari.

1. Kebo-keboan

Upacara adat satu ini digelar bertujuan untuk meminta kesuburan tanah, panen yang melimpah serta terhindarnya dari malapetaka bagi manusia ataupun tanaman. Umumnya kebo-keboan akan diadakan setahun sekali yaitu di bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa).

Kebo-keboan ini sampai sekarang masih dilestarikan di beberapa wilayah di Banyuwangi, seperti desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, serta desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.

2. Tari Gandrung

Tarian ini digelar sebagai bentuk rasa syukur karena hasil panen yang melimpah. ‘Gandrung’ sendiri berarti terpesonanya masyarakat Blambangan pada Dewi Sri sang Dewi Padi yang memberi kesejahteraan bagi masyarakat.

Tarian ini dilakukan seorang penari wanita, yang akan menari bersama tamu (terutama pria) dengan menggunakan iringan musik gamelan. Musik yang disajikan puun khas perpaduan dari Jawa dan Bali.

3. Barong Ider Bumi

Tradisi satu ini digelar setiap tanggal 2 di bulan Syawal. Sebagian masyarakat Osing akan membentuk kelompok barongan dan mengitari desa dari timur ke barat, seperti sedang karnaval. Di tengah-tengah acara, masyarakat lainnya akan melempari peserta karnaval dengan uang logam yang bertujuan menolak bala di wilayah tempat tinggal mereka.

Dulu, tradisi ini dilakukan karena daerah mereka sempat dilanda kemarau panjang, hingga akhirnya suku Osing melakukan tradisi ini agar kemarau pergi dan sawah bisa mendapatkan air yang cukup untuk tumbuh.

4. Tumpeng Sewu

Tumpeng Sewu adalah sebuah tradisi makan besar yang masih dilestarikan suku Osing, yang rutin dilaksanakan pada bulan Dzulhijah atau bulan Haji. Tradisi ini dipercaya akan menjauhkan malapetaka. Dan masyarakat sana menyakini bahwa bila Tumpeng Sewu tidak dilaksanakan, maka dapat mendatangi musibah di daerah mereka.

Dalam tradisi makan besar ini akan dihidangkan beragam makanan. Salah satu yang tidak boleh terlewatkan adalah pecel phitik, sajian berupa ayam panggang dengan serutan kelapa serta bumbu khas dari suku Osing.

5. Mepe Kasur

Tradisi unik bernama Mepe Kasur atau jemur kasur ini adalah tradisi rutin yang dilakukan di bulan Dzulhijah, bersamaan acara selamatan desa. Mepe Kasur ini dilakukan untuk menjaga kerukunan dan semangat kerja dalam rumah tangga.

Dalam tradisi ini pun terlihat kerukunan dari suku Osing dalam warna kasur yang dipakai, yaitu merah dan hitam, yang jadi simbol tolak bala serta kelanggengan keluarga.

6. Angklung Paglak

Angklung paglak akan dimainkan oleh suku Osing ketika musim panen tiba. Dulu, angklung paglak dimainkan sebagai hiburan untuk para petani. Namun bukan hanya sebagai hiburan, angklung paglak pun jadi isyarat agar warga membantu panen petani. Dalam tradisi ini terlihat kentalnya nilai gotong royong para masyarakat Osing.

7. Gedhogan

Tradisi ini dilakukan oleh para ibu-ibu yang akan menumbuk hasil bumi seperti tepung dan juga beras. Suara tumbukan tersebut akan menghasilkan irama dan nada yang indah. Walaupun sudah sangat jarang dipakai, namun tradisi gedhogan ini masih dilestarikan dan menjadi daya tarik wisatawan yang datang.

8. Nginang

Salah satu tradisi yang juga masih dilakukan, terutama bagi para ibu-ibu adalah nginang, di mana mereka menggorokkan gigi mereka atau mengunyah buah pinang. Selain buah pinang, bahan lain yang digunakan yaitu gambir, kapur sirih, dan ketiganya digulung dengan daun sirih.

Tradisi ini bahkan dijadikan perlombaan oleh masyarakat sana, sebagai wujud melestarikan tradisi suku Osing.

9. Koloan Selamatan

Bila ada anak warga suku Osing Banyuwangi yang melaksanakan khitanan, maka Koloan Selamatan akan dilakukan. Tradisi ini dilakukan dengan meneteskan darah kepala ayam ke kepala anak yang akan dikhitan. Ayam yang dipakai dalam tradisi ini pun harus ayam jago berwarna merah yang belum mengawini ayam betina.

Baca Juga: Rumah Bolon: Rumah Adat Suku Batak

Rumah Adat Suku Osing Banyuwangi

Bila berkunjung ke Banyuwangi, maka sempatkanlah untuk datang mengunjungi desa Kemiren, Kecamatan Glagah serta desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, di mana di desa-desa tersebut kamu dapat melihat rumah adat suku Osing yang masih asli.

Tampilan rumah adat suku Osing terlihat sederhana, yang memang berkaitan dengan struktur sosial masyarakat Osing. Arsitektur ruangan rumah Osing dibagi menjadi Bale atau ruang tamu, Jrumah atau kamar dan juga Pawon atau dapur. Dan bagian luar rumah terbagi menjadi Amper atau teras dan Ampok atau teras samping kanan dan kiri.

Struktur bangunan rumah Osing berupa susunan rangka dengan 4 tinag atau saka kayu tanpa paku, namun menggunakan paju atau pasak pipih. Bagian penutup atapnya memakai genteng kampung, di mana dulunya menggunakan welitan daun kelapa. Bagian lantainya tanah, dengan dinding samping, belakang serta partisi rumah terbuat dan anyaman bambu.

Pada rumah Osing yang pemiliknya memiliki status ekonomi yang lebih tinggi, umumnya terdapat ornamen yang dibuat dari pahat serta ukiran kayu berbentuk geometris seperti Slimpet atau swastika dan Kawung serta motif flora seperti bunga matahari, anggrek, dan juga pakis.

Membahas soal kebudayaan, adat istiadat, tradisi dan sejarah suatu daerah atau suku di Indonesia, seperti suku Osing Banyuwangi ini memang bisa dibilang sangat menarik. Ini karena ada banyak sekali pengetahuan yang bisa kita pelajari.

Emkay Blast Lite
jasa pembuatan website

Related posts

Apakah Berlibur Menjadi Salah Satu Bentuk Pendidikan Terbaik

Arif Buz

Apa Fungsi Pola Lantai dalam Pertunjukan Seni Tari

Rostina

Pengertian Masyarakat Multikultural, Karakteristik dan Faktor Terbentuknya

Marsyaviani

Leave a Comment